Selasa, 07 April 2009

Menuntut Ilmu

Sejak awal, islam telah menimbulkan suatu revolusi terhadap konsep agama dan maknanya bagi bagi manusia. Berbeda dengan agama lain, islam menghubungkan agama dengan sains, agama dengan politik, dunia dengan akhirat, semua hal2 yang biasanya dilihat secara terpisah. Oleh karenanya, memahami konsep agama dalam perspektif islam adalah sebuah kepentingan yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan kepribadian islami ( syakhshiyyah islamiyah ).
Islam adalah konsep komprehensif atas segenap aspek kehidupan , bukan semata-mata berisi ritual dan doa2. islam adalah addien, bukan sekedar religion atau agama. Dengan selesainya masa pewahyuan, maka islam telah memiliki konsep yang khas, komprehensif ( syamil ) dan lengkap ( kamil ) tentang dirinya, manusia, kehidupan, dan bagaimana menghubungkan semua itu dalam satu kesatuan ( tawhid ), demi mewujudkan pengabdian tunggal kepada Allah. Sayyid Abul A'la al Mawdudi menulis sebuah risalah kecil yang detail menjelaskan 4 konsep dasar dalam islam : al-ilah, ar-rab, ad-dien dan al-'ibadah.

Kita tidak bisa memakai framework barat atau tradisi2 agama pagan dalam memaknai islam, terutama dalam kaitannya dengan kehidupan. Barat memakai pendekatan sosiologi-antropologi-psikologi untuk memahami agama, sehingga sepeneuhnya bersifat empiris-sekuler-relatif. Menurut sudut pandang ini, segala yang tidak bisa dibuktikat lewat empirisme, adalah sesuatu yang tidak mungkin diterima. Jikapun diterima maka ia bersifat relative dan subyektif.

Diantara sekian banyak isu mendasar dalam peradapan umat manusia yang direvolusi oleh islam adalah konsep ilmu. Dalam islam, ilmu dilepaskan dari segala unsure mitos, magis, prasangka tak berdasar, dan hal-hal yang bersifatpseudo-sains lainnya. Contoh pseudo-sains adalah astrologi. Selain mengakui pencapain ilmu melalui upaya2 eksperimental dan empiris, islam juga meneguhkan bahwa ada sumber otoritas mutlak dalam ilmu, yakni wahyu dan kenabian. Sejak wahyu pertama turun, perintah pertama adalah iqra', yang memiliki makna dasar darasa ( mengkaji ), faqiha ( memahami ), jama'a ( mengumpulkan ), dan hafizha ( menghafal ).

Para ulama' generasi terdahulu pun telah mengisyaratkan pentingnya ilmu dalam karya2 mereka. Imam al-Bukhari memulai kitab al-jami' as-Shahih dengan Kitab Bad'il Wahyi ( awal mula turunnya wahyu ). Ini adalah pengakuan terhadap otoritas tertinggi wahyu sebagai sumber ilmu. Dapat dimaklumi pula, wahyu pertama adalah surah al-'alaq ayat 1-5, dimana di dalamnya Alloh berfirman " alladzi 'allama bil qalam, 'allamal insana malam ya'lam ". Hampir seluruh tafsir akan mencantumkan riwayat detail dan panjang tentang al-qalam (pena) dan peran sentralnya dalam peradaban. Bahwa, al-qalam adalah ramz al-'ilmi wa at-ta'lim ( simbol ilmu dan pengajaran). Ilmu adalah ruh Islam. Tanpanya, Islam akan mati.

Kitab al-'ilmi ditempatkan oleh Imam al-Bukhari sebagai bab ke-3, setelah Kitab Bad'il Wahyi Dan Kitab al-Iman. Bahkan didalamnya ada bab yg berjudul bab al-Ilmi qablal Qaul wal 'Amal (pasal tentang ilmu sebelum berbicara dan berbuat), yang merupakan pasal ke-10 dalam Kitab al-'Ilmi.

Imam al-Ghazali memulai kitab Ihya' 'Ulumiddin-nya dg bab al-'Ilm. Dengan kitab at-Targhib wa at-Tarhib, imam al-Mundziry menempatkan Kitabul 'Ilmi : at-Targhib fil 'Ilmi wa Thalabihi wa Ta'allumihi wa Ta'limihi wa ma Jaa'a fi Fadhlil 'Ulama' wal Muta'allimin (Bab tentang Ilmu : Motivasi tentang Ilmu, Mencari Ilmu, Mempelajari dan Mengajarkannya, serta Riwayat lain tentang Keutamaan Ulama' dan Pengajar), sebeum bab2 ibadah spt bersuci, sholat, zakat, puasa, haji, dan bahkan jihat fisabillilah. Kitab al-'Aqidah an-Nasafiyah yang berbicara tentang teologi, juga mengawali pembahasannya dg menjelaskan konsep ilmu dalam pandangan Islam.

Para Sahabat Menuntut Ilmu

Tidak mudah menggambarkan para Sahabat menuntut Ilmu. Bukan karena sedikitnya data, namun karena melimpah ruahnya riwayat tentang hal itu sehingga mustahil ditulis dalam makalh ringkas ini. Sebagai bukti, adalah terawatnya ribuan hadits-hadits Rosululloh dalam berbagai kitab yg shahih dan kredibel. Jika tidak ada tradisi Ilmu yg sangat kuat ditengah2 mereka tentu kita di jaman ini akan bernasib sama dg kaum Nasrani dan Yahudi, dimana agama mereka telah kehilangan otentisitas karena sumber2 aslinya tidak terawat dan tidak mungkin ditelusuri kembali.

Banyak diantara Sahabat yang kemudian dikenal sbg " Raja Perawi Hadits ", dimana mereka menhafal dan mentransisikan kembali puluhan, ratusan sampai ribuan hadits Nabi secara lisan dari ingatan mereka. Pada generasi berikutnya, rekor ini dipecahkan dg lebih spektakuler lagi. Menurut sebuah catatan, Imam al-Bukhari menghafal sekitar 100.000 hadits shahih, dan kurang lebih 200.000 hadits lainnya dari berbagai tingkatan.

Adalah mengherankan, bahwa para Sahabat sangat teliti memperhatikan "peragaan" Rosululloh dalam segala hal. Bahkan, banyak diantaranya yg sangat sepele dan jarang diperhatikan. Riwayat tentang rambut, jumlah uban, bentuk wajah, postur tubuh, gigi, cara berjalan, dll diingat dengan baik. Ada riwayat yg melimpah tentang cara menyisir rambut, memakai alas kaki, masuk kamar kecil, cara berpakain, dsb. Sebagian kecil adalah mencatat, dan mayoritas menghafalnya dilkuar kepala. Seluruh "peragaan" itu kemudian dikenal sebagai as-Sunnah, yg mencakup ucapan, tindakan, keputusan, dan gambaran sifat Rosululloh SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar